Cara Mengingat Kematian Menurut Imam Al-Ghazali
(Dokumentas: Kegiatan Setelah Sholat Berjamaah)
MTsN 2 Sumbawa. KEMATIAN adalah sesuatu yang pasti terjadi kepada setiap makhluk Allah Swt. Sayangnya hanya sedikit orang mau mengingat kematian.
Menurut Imam al-Ghazali, dalam mengingat kematian manusia terbagi menjadi tiga macam: Pertama, orang yang tenggelam dalam urusan dunia. Kedua, orang yang ahli taubat. Ketiga, orang yang ‘arif.
Seseorang yang tenggelam dalam dunia ia tidak akan pernah mengingat kematian. Kalaupun mengingatnya maka mereka mengingatnya dalam rangka menyayangkan dunia yang dikumpulkan dan hiruk pikuk kenikmatan di dalamnya.
Mengingat kematian dengan cara demikian justru membuatnya semakin jauh dari Allah. Meski demikian, mengingat kematian tetap memberi manfaat bagi mereka yaitu setidaknya muncuk kesadaaran akan fananya kehidupan dunia.
Adapun seorang ahli taubat mereka banyak mengingat kematian hingga tumbuh dan bersemi rasa takut kepada Allah di hatinya. Kadang kala terbesit di hatinya rasa tidak suka terhadap kematian, sebab kekhawatiran mereka jika kematian tiba-tiba datang di saat mereka belum menyempurnakan taubat dan menyiapkan bekal.
Rasa ketidaksukaan terhadap kematian seperti ini merupakan sesuatu yang dapat dimaafkan. Ia tidak termasuk dalam hadis Rasulullah ﷺ;
مَنْ أَحَبَّ لِقَاءَ اللَّهِ أَحَبَّ اللَّهُ لِقَاءَهُ ، وَمَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللَّهِ كَرِهَ اللَّهُ لِقَاءَهُ
“Barangsiapa yang tidak suka bertemu Allah, maka Allah pun tidak suka bertemu dengannya.” (HR: Bukhari)
Karena sejatinya mereka bukan tidak suka bertemu Allah namun mereka takut tidak sempat menyempurnakan kekurangan dan kelalaiannya saat bertemu dengan-Nya.
Mereka seumpama seorang yang terlambat menemui kekasihnya karena sibuk menyiapkan pertemuan dengan hal-hal yang disukai sang kekasih.
Ciri orang yang demikian adalah mereka selalu menyiapkan diri untuk menghadap Allah dan tidak menyibukkan diri dengan selainnya, jika tidak demikian maka mereka termasuk orang yang tenggelam dalam urusan dunia.
Sedangkan seorang yang arif adalah mereka yang selalu mengingat kematian karena kematian bagi mereka merupakan hari pertemuan mereka dengan Kekasihnya.
Seorang yang telah jatuh cinta takkan mungkin sedetikpun melupakan hari pertemuan dengan Sang Kekasih. Sering kali mereka justru diberi umur panjang padahal mereka sangat menginginkan segera meninggalkan dunia, tempat tinggal para ahli maksiat, menetap di sisi Allah Tuhan semesta alam.
Sebagaimana yang diriwayatkan dari Hudzaifah menjelang ajalnya;
حبيب جاء على فاقة لا أفلح من ندم، اللهم إن كنت تعلم أن الفقر أحب إلي من الغنى والسقم أحب إلي من الصحة والموت أحب إلي من العيش فسهل علي الموت حتى ألقاك
“Seorang yang jatuh cinta datang dengan membawa ketidakberdayaan. Aku tidak akan selamat dari penyesalan. Ya Allah, apabila Engkau tahu bahwa kefakiran lebih aku cintai dari kekayaan, kondisi sakit lebih aku cintai dari sehat, kematian lebih aku cintai dari kehidupan, maka mudahkanlah kematianku sehingga aku bisa bertemu dengan-Mu.” (Ihya’ Ulumuddin, 4/477).
Maka seorang ahli taubat diampuni dari ketidaksukaannya terhadap kematian, sedangkan seorang arif diampuni dari kecintaannya terhadap kematian.
Menurut Imam al-Ghazali terdapat tingkatan lagi yang lebih tinggi lagi daripada itu, yaitu seorang yang menyerahkan semua urusannya kepada Allah. Ia tidak memilih untuk hidup atau mati.
Ia menjadikan apa yang dikehendaki Tuhannya sebagai sesuatu yang dicintainya. Rasa cintanya telah mengantarkannya kepada maqam berserah diri dan ridha. Itulah puncak dari seluruhnya.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kenikmatan.” Sebab dengan mengingatnya kita mampu mempersempit kenikmatan hingga kemudian benar-benar terputus dari kebutuhan terhadapnya lalu menghadapkan diri hanya kepada Allah.
Cara Mengingat Kematian
Cara mengingat kematian adalah dengan mencoba mengosongkan hati dan pikiran dari selain mengingat kematian.
Abu Darda` berkata; “Apabila engkau mengingat seorang yang meninggal dunia maka persiapkanlah dirimu sebagaimana mereka.”
Ibnu Mas’ud berkata; “Orang yang bahagia (ahli surga) adalah orang yang mengambil pelajaran dari selain dirinya.”
‘Umar bin ‘Abdul Aziz berkata; “Tidakkah kalian memperhatikan bahwa setiap hari kalian mengurus jenazah dan meletakkan mereka dalam sebuah lubang di tanah beralaskan debu, meniggalkan orang yang dicintai dan memutuskan amal perbuatan.”
Dengan senantiasa merenungi hal tersebut, ditambah dengan mengunjungi kuburan dan menjenguk orang sakit maka seseorang akan terus memperbaharui ingatannya terhadap kematian hingga rasa-rasanya kematian hadir di hadapannya. Dalam kondisi tersebut kecil kemungkinan seseorang akan menggantungkan dirinya pada dunia.
Meski demikian, sebersih apapun hati manusia, pasti ia pernah senang terhadap dunia. Dalam keadaan demikian seyogyanya ia segera menyadari bahwa ia pasti akan menginggalkan dunia (Hidayatullah.com).